Senin, 19 Mei 2014

Masa Sebelum Kelahiran Nabi Muhammad Saw.

1.            Masa Kosong Dari Kenabian yang Gelap Lagi Mengkhawatirkan
         Selang waktu (vakum kenabian) di mana saat itu Muhammad SAW. diutus, adalah masa – masa paling gelap dan masa – masa paling kacau yang dilalui Jazirah Arab (zaman jahiliyah), sangat jauh dari angan – angan perbaikan, serta merupakan tahapan paling sulit dan paling rumit yang dihadapi seorang nabi.
Sir William Muir menyatakan : “Tempat – tempat di Arab sebelum diutusnya Muhammad SAW., jauh dari perubahan agama, sebagaimana ia juga jauh dari persatuan dan hubungan baik antar suku. Agama mereka berdiri atas berhalaisme yang tidak masuk akal, yang telah berurat berakar pada mereka. Dengan kekerasan bak batu cadas, mereka bertarung menghadapi upaya kaum Nasrani Mesir dan Syam melakukan perbaikan, hingga mengalami kegagalan.”[1]

2.            Kebutuhan Akan Seorang Nabi yang Diutus Allah
Pada masa sebelum lahirnya Islam, memang ada sejumlah orang yang menegakkan agama Ibrahim secara murni. Merekalah yang menyadari bahwa itu jauh dari sikap tradisional; penyembahan berhala adalah suatu bid’ah, inovasi ciptaan manusia, suatu bahaya yang haarus dijaga dan dilawan.[2]
Para kaum Hanif, begitu mereka menyebut diri mereka, merasa tidak bisa berbuat apa – apa berkaitan dengan berhala – berhala, yang kehadirannya di Makkah mereka anggap sebagai suatu kotoran dan polusi.Penolakan mereka untuk kompromi dan seringnya mereka bicara terang – terangan tentang agama itu, membuat mereka menjadi satu golongan pinggiran dalam masyarakat Makkah.[3]
Pencabutan kerusakan dan berhalaisme dari akarnya hingga tidak bersisa benda dan bekasnya, penanaman akidah tauhid di dasar jiwa manusia secara sempurna, penanaman kecenderungan terhadap ridho Allah dan beribadah kepada-Nya, dan pelayanan terhadap sesama manusia, pembelaan terhadap kebenaran, pengekangan terhadap hawa nafsu, dan memberantas segala tantangan. Semua itu diperlukan oleh bangsa Arab agar budaya jahiliyah dapat diberantas.
         Secara garis besar adalah melakukan karantina terhadap sifat kemanusiaan yang saling bermusuhan yang sedang mengerahkan kekuatannya untuk melompat ke dalam jurang siksaan dunia dan akhirat dan menapaaki jalan yang awalnya adalah kebahagiaan seperti yang diperoleh oleh orang – orang yang mengenal Allah dan beriman kepada-Nya, dan akhir perjalanannya adalah surga Allah yang abadi, yang dijanjikan untuk orang – orang yang bertaqwa.

3.            Alasan Dipilihnya Arab Sebagai Tempat Diutusnya Rasulullah SAW.
         Bangsa Arab pada dasarnya merupakan bangsa yang bersahaja, yang di dalam hati mereka belum begitu banyak tertulis kebudayaan maupun keyakinan yanf dalam dan sulit untuk dihilangkan. Tidak seoerti bangsa Romawi yang tersesat dan sombong dengan ilmu pengetahuan dan tatanan etika mereka yang tinggi serta peradaban mereka yang bersinar, juga dengan pemikiran filosofis mereka yang luas.
         Selain itu, orang – orang Arab adalah orang – orang yang bangga tapi sensitif. Kebanggaan itu disebabkan bahwa bangsa Arab memiliki kemampuan yang luar biasa dalam dunia sastra, dan bahasa Arab juga merupakan bahasa terbaik diantara bahasa – bahasa lain di dunia.
         Pada masa sebelum lahirnya Islam, di Jazirah Arab sudah terlebih dahulu berkembang agama Yahudi dan Kristen. Meskipun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya pada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung.[4]
         Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala – berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, tetapi di tempat – tempat lain juga banyak terdapat berhala. Berhala – berhala yang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di Ka’bah; Latta, dewa tertua terletek di Thaif; Uzza, bertempat di Hijaz. Berhala – berhala itu mereka jadikan sebagai tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk.[5]
         Beberapa sifat lain bangsa Arab sebelum datangnya Islam adalah sebagai berikut :[6]
1.Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi
2.Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku
3.Posisi wanita tidak lebih baik dari binatang, wanita dianggap barang – barang dan hewan ternak yang tidak mempunyai hak.
Secara geografis, letak Jazirah Arab layak menjadi pusat dakwah ke seluruh dunia dan kepada seluruh umat manusia. Disamping sebagai bagian dari benua Asia yang terletak berdekatan dengan benua Afrika, kemudian benua Eropa, yang semuanya adalah pusat kebudayaan, intelektual, agama – agama, pemerintahan – pemerintahan yang kuat dan luas.[7]
         Jazirah Arab juga dilewati oleh kafilah – kafilah dagang yang menghubungkan berbagai negeri. Terkadang, kafilah – kafilah tersebut juga menghubungkan antara bukit – bukit kecil yang terasing, mereka membawa sesuatu yang berguna dan diproduksi di suatu negeri, ke negeri yang memerlukannya.
         Jazirah ini juga terletak di antara dua kekuatan yang bersaing, yakni kekuatan Kristen dan Majusi, kekuatan Barat dan Timur.  Namun demikian, Jazirah Arab tetap menyimpan kebebasan dan kepribadiannya. Ia tidak tunduk pada salah satu daulat (kekuasaan) kecuali pada sebagian daerahnya, dan pada sebagian kecil suku – sukunya. Dengan demikian, Jazirah Arab berada dalam posisi yang sangat baik untuk menjadi pusat dakwah kemanusiaan secara universal, berdiri di atas jalan internasional, jauh dari pengaruh politik dan pengaruh asing.[8]
         Karena semua alasan di atas, Allah telah memilih Jazirah Arab khususnya Makkah al- Mukaromah, sebagai tempat diutusnya Rasulullah SAW., sebagai tempat permulaan diturunkannya wahyu, serta sebagai titik tolak perjalanan Islam ke seluruh dunia.
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. al-An’am:124)



[1] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, Pengantar Menuju Sirah Nabawiyah, hlm. 49.
[2] Martin Lings, Muhammad, Serambi, Jakarta, hlm. 34.
[3] Ibid.
[4] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 54.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 55.
[7] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, Pengantar Menuju Sirah Nabawiyah, hlm. 47.
[8] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar