Menurut asal katanya,
kepribadian (personality) berasal dari bahsa Latin personare,
yang berarti mengeluarkan suara (to sound trough). Istilah ini digunakan
untuk menunjukkan suara dari percakapan seorang pemain sandiwara melalui topeng
yang dipakainya. Pada mulanya istilah persona berarti topeng yang
dipakai oleh pemain sandiwara, di mana suara pemain sandiwara itu
diproyeksikan. Kemudian kata persona itu berarti pemain sandiwara itu
sendiri.[1]
Istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian adalah :
a.
Individuality,
adalah sifat khas seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai
sifat berbeda dari orang lainnya.
b.
Identity,
yaitu sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat
mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar (Unity and persistance of
personality)
Kepribadian mengandung
pengertian yang sangat kompleks. Kepribadian mencakup berbagai aspek dan
sifat-sifat fisis maupun psikis dari seorang individu. Oleh karena itu sukar
bagi para ahli psikologi untuk merumuskan batasan/definisi tentang kepribadian
secara tepat, jelas, dan mudah dimengerti. .
Beberapa ahli mengemukakan definisinya sebagai berikut :
a.
Allport
Dengan
mengecualikan beberapa sifat kepribadian dapat dibatasi sebagai cara bereaksi
yang khas dari seseorang individu terhadap perangsang sosial dan kualitas
penyesuaian diri yang dilakukannya terhadap segi sosial dari lingkungannya.
b.
Mark
A May
Apa
yang memungkinkan seseorang berbuat efektif atau memungkinkan seseorang
mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Dengan kata lain, kepribadian adalah
nilai perangsang sosial seseorang.
c.
Hartmann
Susunan
yang terintregasikan dari ciri-ciri umum seorang individu sebagaimana dinyatakan
dalam corak khas yang tegas yang diperlihatkannnya kepada orang lain.
d.
L.P.
Thorp
Sinonim dengan
pikiran tentang berfungsinya seluruh individu secara organisme yang meliputi
seluruh aspek yang secara verbal terpisah-pisah seperti : intelek, watak,
motif, emosi, minat, kesediaan untuk bergaul dengan orang lain (sosialitas),
dan kesan individu yang ditimbulkannya pada orang lain serta efektivitas sosial
pada umumnya.[2]
Para ahli psikologi
pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kepribadian (personality)
itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang dapat diamati saja, tetapi juga termasuk
di dalamnya apakah sebenarnya individu itu. Jadi selain tingkah laku
yang tampak, ingin diketahui pula motifnya, minatnya, sikapnya, dan sebagainya
yang mendasari pernyataan tingkah laku tersebut.
Menurut Sigmund Freud kepribadian terdiri atas tiga sistem atau
aspek, yaitu :[3]
a.
Das
Es (the id), yaitu aspek biologis
b.
Das
Ich(the ego), yaitu aspek psikologis
c.
Das
Ueber Ich (the super ego) yaitu aspek
sosiologis
Sementara itu yang dimaksud dengan kepribadian muslim adalah
kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat
bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula
atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi abdi masyarakat
sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad Saw. (mengikuti sunnah Nabi), mampu
berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
mengakkan Islam dan kejayaan ummat ditengah-tengah masyarakat (‘Izz al-Islam
wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian
manusia.[4]
Ditengah semakin derasnya laju arus globalisasi, semakin banyak
pula hal-hal yang mengancam akhlak generasi penerus bangsa ini. Peran PAI di
sekolah selaku pendidikan formal diharapkan mampu membangun moral peserta
didik. Karena dengan adanya pembelajaran PAI yang efektif di sekolah maka akan
terbentuk pribadi-pribadi muslim yang kaffah. Meskipun sebenarnya tidak
hanya cukup di lembaga pendidikan formal saja pendidikan islam itu dapat
diperoleh.
Terbentuknya kepribadian utama utama berdasarkan nilai-nilai dan
ukuran Islam adalah salah satu tujuan pendidikan Islam. Tetapi seperti
pendidikan umum lainnya, tentunya pendidikan Islam tidak terlepas dari
tujuan-tujuan yang lebih bersifat operasional sehingga dapat dirumuskan
tahap-tahap proses pendidikan Islam mencapai tujuan lebih jauh.
[1] Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, h.
154.
[2] Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010, h. 201-203.
[3] Sumadi
Suryasubrata ,Psikologi Kepribadian, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2007, h. 125-126.
[4] Mujamil Qomar,
Pesantren (Dari Transformasi Metodologi Menuju Demakratisasi
Institusi), Jakarta: Erlangga, 2007, h. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar